Menjaga Identitas Kota Metro Lewat Cagar Budaya dan Sejarah Lokal
Tiga Narasumber Ungkap Pentingnya Warisan Sejarah sebagai Titipan Generasi Mendatang
Kota Metro — Cagar budaya bukan hanya peninggalan masa lalu, melainkan juga titipan untuk anak cucu di masa depan. Pesan itulah yang mengemuka dalam Workshop Cagar Budaya dan Sarasehan Sejarah Lokal yang digelar di Kota Metro. Tiga narasumber dengan latar belakang berbeda menghadirkan pandangan yang saling melengkapi: pengenalan cagar budaya, kebijakan pelestarian, hingga strategi menulis sejarah lokal.
Warisan yang Harus Dijaga
Sejarawan lokal Kian Amboro mengingatkan pentingnya mengenal dan merawat tujuh cagar budaya Kota Metro, antara lain Rumah Dokter Kolonisasi (Dokterswoning), Klinik Santa Maria, Menara Masjid Agung Taqwa, Gedung Health Center RSUD Ahmad Yani, Rumah Asisten Wedana, Sumur Hibah Imopuro, serta Sepeda Suster Ludana.
“Setiap bangunan dan benda itu menyimpan nilai sejarah, arsitektur, dan memori kolektif masyarakat. Cara terbaik menjaganya bukan hanya memperlakukan sebagai warisan, tetapi sebagai titipan dari generasi mendatang,” jelas Kian Amboro.
Tantangan Pelestarian
Sementara itu, Siti Rogayati Seprita, Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Metro, menyoroti berbagai tantangan pelestarian. Menurutnya, ancaman modernisasi, alih fungsi lahan, keterbatasan SDM, serta rendahnya kesadaran masyarakat masih menjadi pekerjaan rumah besar.
“Pelestarian cagar budaya bukan sekadar menjaga bangunan tua, tapi menjaga jati diri Kota Metro. Dibutuhkan regulasi kuat, TACB yang berfungsi optimal, hingga kolaborasi lintas sektor agar warisan ini tetap hidup,” ujarnya.
Strategi yang ditekankan meliputi inventarisasi dan registrasi, penguatan regulasi lokal, wisata heritage, serta pemberdayaan masyarakat melalui sosialisasi dan pelatihan.
Sejarah sebagai Guru Kehidupan
Dari sisi akademis, Umi Hartati menekankan bahwa sejarah adalah guru kehidupan (Historia Vitae Magistra). Ia menegaskan pentingnya menulis sejarah lokal secara benar dengan prosedur penelitian sejarah yang baku, mulai dari pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi, hingga penulisan historiografi.
“Sejarah memberi nilai dan pedoman hidup. Menulis sejarah lokal berarti menjaga memori kolektif masyarakat, sehingga generasi berikutnya tidak kehilangan identitasnya,” kata Umi Hartati.
Metro di Persimpangan
Dari ketiga paparan, terjalin benang merah bahwa cagar budaya dan sejarah lokal adalah dua sisi yang saling melengkapi. Cagar budaya menghadirkan bukti nyata peradaban, sementara penulisan sejarah memastikan kisah itu tetap hidup dalam ingatan kolektif.
Jika strategi pelestarian dijalankan dengan baik, Kota Metro bukan hanya dikenal sebagai kota pendidikan, melainkan juga bisa tumbuh sebagai kota berkarakter dengan daya tarik wisata sejarah dan budaya yang berkelanjutan. Namun jika diabaikan, modernisasi berpotensi mengikis jati diri yang telah dibangun puluhan tahun.
Kegiatan ini menjadi pengingat bersama: melestarikan cagar budaya dan menulis sejarah lokal adalah investasi peradaban. Seperti ditegaskan narasumber, warisan ini bukan sekadar milik hari ini, tetapi juga titipan berharga bagi masa depan.
Untuk diketahui, kegiatan Sarasehan dan Kunjungan Cagar Budaya di Kota Metro diinisiasi oleh Kuswono dosen program studi Pendidikan Sejarah UM Metro dengan bekerjasama dengan Program Fasilitasi Pemajuan Kebudayaan BPK 7 Bengkulu dan Lampung.
Kaprodi Pendidikan Sejarah UM Metro Dr. Johan Setiawan, M.Pd Mengapresiasi prestasi dari teman-teman Dosen Pendidikan Sejarah yang berhasil mendapatkan Hibah dari Kementerian Kebudayaan RI. Selamat dan Sukses selalu dalam menjaga warisan bubudaya.